Saya mau kalian mengerti bahwa level paling rendah dari tujuan hidup adalah mengejar kebahagiaan. Yang terendah dari semuanya. Saya akan buktikan mengapa begitu? Kalian merasa tidak suka bangun dan mengerjakan PR pada hari Sabtu pagi. Jadi kalian tidur sampai jam 12 siang. Rasanya? Bahagia.
Tidak perlu susah payah agar bahagia. Ada anak-anak yang main video game semalam suntuk tidak peduli kepalanya migrain. Kalau sudah bisa menang, dia akan bahagia.
Ada yang terima telepon dari kantor, “Cuacanya bersalju. Anda tidak harus datang.”
Coba tebak?! Dia bahagia!
Kesimpulannya, bahagia itu gampang. Untuk hal sepele, bahagia itu mudah. Bahagia dalam hubungan rumah tangga itu sulit. Membuat orang tuamu bahagia atau membuat orang tua senang denganmu, sangat susah. Membahagiakan istri? Sudahlah, jangan bahas yang itu. Jangan bahas ha ha.
Untuk ukuran kalian, mencari kebahagiaan itu semudah menonton film. Sudah bahagia. Pergi bertemu teman, sudah merasa bahagia. Pergi ke restoran favorit, sudah merasa bahagia. Tidak susah. Namun, ketika sudah bahagia, apa yang terjadi? Hilang!
Kebahagiaanmu hilang. Kalian merasa bosan lagi. Kalian merasa murung dan butuh bahagia lagi. Kalian kecanduan dengan kebahagiaan semacam ini yang akan pergi lagi, tidak pernah bertahan. Itulah hal termudah jadi bahagia.
Saat ada orang yang bilang, “Aku hanya ingin bahagia.” Saya tidak mengerti. Karena tidak ada orang yang selalu bahagia. Allah memberi kita macam-macam emosi sebagai pengalaman hidup, itu semua bagian dari hidup. Kebahagiaan hanyalah salah satunya.
Jadi jika yang kalian kejar hanya kebahagiaan, saya ingatkan, kalian akan banyak kecewa. Itu tidak akan terjadi. Tidak ada orang yang bahagia terus menerus. Bukan begitu cara kerjanya. Bukan juga berarti kalian harus merasa depresi. Tapi saya mau mengatakan bahwa hidup adalah tentang perjuangan juga bukan?
Saat belajar untuk ujian, kalian tidak bahagia. Saat sedang ujian selama tiga jam, kalian tidak bahagia. Saat kalian bersama pria yang ingin melatihmu, saat kalian melihat hasilnya, kalian akan bahagia. Tetapi saat kalian berlatih keras, berkeringat dan sekarat! Kalian tidak bahagia! Lihatlah wajahmu… he he he… kalian seperti “Sylvester Stallone” (seorang aktor).
Jadi bagaimanapun… pengejaran yang paling rendah itu apa? Kebahagiaan. Mari lanjutkan.
Pengejaran kedua. Setingkat diatasnya yang artinya ini membutuhkan usaha lebih. Setiap kali melangkah ke level berikutnya, kalian mengalami lebih banyak penderitaan untuk mendapatkannya, ok?
Menjadi Keren
Level berikutnya adalah impian menjadi keren. Bukan tentang mengejar kebahagiaan, tapi ingin dibilang keren.
Keren artinya, “Tidak ada yang mengejek saya. Aku akan berbaur dengan orang lain. Tidak ada yang akan menunjukku dan bilang, kenapa pakaianmu seperti itu? Kok bicaramu seperti itu? Kenapa kamu kelihatan seperti itu? Kenapa kamu berjalan seperti itu? Kenapa kamu bergaul dengan orang-orang itu? Kenapa kamu beli itu? Kenapa kamu mengendarai mobil itu?”
Orang-orang akan menunjukmu, mengkritikmu dan kalian tidak ingin itu terjadi. Kalian ingin menyesuaikan diri dan tidak menjadi objek kritik siapa pun. Kalian hanya ingin berbaur dan hampir tak terlihat. Kalian keren seperti orang lain. Ini butuh usaha.
Jadi misalnya, bagi kalian yang di SMA atau bahkan yang masih SMP, bagaimana kalian berpakaian ke sekolah benar-benar urusan penting. Dan sebenarnya, sebelum kalian ambil baju dari lemari atau sepatu yang akan dipakai. Terlintas dalam pikiran kalian tentang siapa yang akan mengolokmu bila memakainya. Itu benar-benar terlintas dalam pikiran kalian.
Sewaktu kalian pergi belanja, orang tuamu berkata, “Ayo beli pakaian atau apapun yang kamu butuhkan.”
Mereka memberimu uang. Keputusan untuk membeli, apapun pakaian yang kalian beli atau sepatu yang kalian beli, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh apa yang orang pikirkan tentangmu saat kamu mengenakannya.
Inilah mengejar kekerenan dan ini membutuhkan usaha lebih untuk mendapatkannya. Lebih mudah menjadi orang aneh yang semua orang memandangnya aneh. Membutuhkan usaha agar seperti orang lain.
Sayangnya banyak anak muda mereka harus menyerah. Mereka harus berpura-pura, mereka menjadi bukan dirinya, hanya untuk diterima. Saya bertemu anak yang mungkin berusia 14-15 tahunan. Saya bertemu anak ini satu waktu. Dia memakai topi baseball miring, dulu ini pernah nge-trend bukan? Dan celananya agak melorot. Dia seperti… kalian tahu? Dia mendatangi saya dan mulai menangis. Saya suruh dia duduk, kami mulai ngobrol.
Katanya, “Aku benci berpakaian seperti ini.
Aku membencinya. Tapi, kalau tidak begini, anak-anak mengejekku bahkan aku dipukuli. Aku terpaksa seperti ini. Aku tidak suka kata kotor, tetapi sering kuucapkan kalau di sekolah karena harus bergaul.”
Popularitas
Tadi ada usaha terendah, yaitu mencari kebahagiaan. Di atasnya ada usaha untuk keren. Lalu ada usaha di atasnya lagi yaitu mengejar popularitas.
“Aku tidak cuma ingin jadi gaul, aku ingin jadi yang paling gaul. Aku ingin jadi idola semua anak. Aku ingin jadi yang paling didengar waktu makan siang. Aku ingin, sebelum ada yang mengolok-olokku, aku duluan yang mengolok-olok mereka.”
Sering kali, anak-anak yang populer di sekolah, itu karena mereka suka mengolok-olok. Teman-temannya jadi takut jadi bahan olokan, sehingga mereka jaga diri agar tidak menjadi target berikutnya.
Ngomong-ngomong, meskipun aku fokus bicara pada anak-anak, pada orang dewasa juga terjadi hal ini. Terjadi sama orang dewasa, pasti. Terjadi sama om dan tante, pasti.
Popularitas itu maksudnya, “Aku mau jadi bahan obrolan. Aku mau jadi pusat perhatian. Aku mau orang berkomentar tentangku. Aku akan kirim gambar, akan ‘twit’ sesuatu, akan buat video, atau apapun akan kulakukan Agar mereka membicarakanku. Dan setiap kali komentarnya menjadi sedikit, Aku butuh sesuatu agar ada yang baru yang dibicarakan.”
Ingin populer itu hal yang sangat aneh, karena itu membuat orang mempermalukan diri mereka. Seperti dalam industri musik dan industri hiburan. Kalau artis, albumnya dapat platinum dan banyak yang mendownload lagunya, lalu tidak populer lagi. Mereka akan menghinakan diri. Mereka membuat video cabul atau terlibat kontroversi agar tabloid semuanya membahas mereka. Pokoknya populer.
Mereka kurang populer karena kehabisan talenta. Musik sudah tidak laku. Musik video yang baru, lagu yang baru, tidak sepopuler yang sebelumnya. Beginilah “mencari popularitas” itu. Agar bisa populer butuh usaha.
Kalian harus mengorbankan uang, waktu, harus jaga diri, jaga image dan kalian benar-benar menjaga penampilan, menjaga status kalian di tengah masyarakat juga identitas kalian di masyarakat. Inilah usaha selanjutnya.
Gengsi
Namun, di atasnya ada usaha yang lebih lanjut. Yaitu “mengejar gengsi”. Bagi anak kuliahan, ini lebih penting daripada bagi anak SD – SMA. Bagi anak kuliahan, ini adalah masalah besar. Mengejar apa tadi saya bilang? Gengsi.
Aku akan membuat urutannya. Yang terbawah ada “kebahagiaan”. Lalu?
“Gaul”. Lalu?
“Popularitas”. Lalu sekarang?
“Gengsi”.
“Gengsi/kehormatan” berarti kalian ingin menyandingkan nama kalian dengan sesuatu yang sangat terpandang.
Kalian mau pamer ke orang, “Hei, aku masuk Harvard, lho.”
Kalian tidak bilang kalau ke sana pas akhir pekan untuk jemput teman kalian. Tapi kalian inginnya menaruh nama kalian setara dengan nama Harvard. Bahkan kalau betulan, kalian baru lulus dari Harvard, kalian sudah sukses? Belum!
Di Harvard, kalian sudah menyumbang untuk dunia? Belum, kalian hanya ingin nama kalian bersanding dengan lembaga bergengsi. Kalian ingin nama kalian bersanding dengan merek bergengsi. Kalian ingin pakai baju dengen merek tertentu. Kalau mereknya tidak kelihatan, kalian ingin basa-basi dengan orang. Suruh mereka tanya, – “Kamu dapat dari mana?”
– “Ya, beli sendiri.”
Atau semacamnya. Karena kalian inginnya disandingkan dengan merek itu. Juga masuk urusan mobil. Kalian menyetir mobil apa, kalian memakai baju apa, kalian dekat dengan siapa. Kalau kalian selfie dengan seseorang, itu bukan untuk kenangan tetapi kalian selfie untuk dipamerkan agar orang lain menganggap kalian orang penting karena orang itu mau foto denganmu. Selfie jadi bahan pamer gengsi. Kalau untuk kenangan, bagus saja. Namun, justru jadi bahan pamer, kalau kalian itu patut dikagumi karena kedekatan, bukan pencapaian.
Ngomong-ngomong, di lingkungan agama, lingkungan muslim, bentuk gengsi yang lain, kadang bapak-ibu kita, yang mereka inginkan, anak mereka jadi hafizh. Oh… dan dokter.
“Hafizh” dan “dokter”?
Lupakan! Jaminan surga. Agama sudah, dunia sudah. Wus!
“Robbanaaa aatinaa fid-dunya hasanah, wa fil-aakhiroti hasanah.” (QS Al Baqarah ayat 201)
Selesai urusan!
Tapi mereka suka pamer ke orang, “Tahu anakku? Dia itu hafizh.”
Anaknya dijadikan seperti piala. Sayangnya, tidak boleh berniat begitu. Tapi, ada saja. Ada saja. Sekarang, kita ada di tingkat apa? “Gengsi”. Semacam ini akan jadi urusan penting, seperti kalau kalian pertama dapat kerja.
Mungkin dapat kerja di, apalah, Microsoft atau lainnya. Apalah. Kalian dapat kerja di tempat besar. Atau kalian masuk di Google. Kalian dikasih emblem. Emblemnya kalian pakai ke masjid. Ya, karena…
“Kamu kecanduan Google? Jadi, kamu dikasih emblem?”
“Oh, bukan. Bukan. Aku kerja di sana.”
Sehingga kalian ingin pamer kalian bisa apa.
“Tafaakhurun bainakum.” (QS Al Hadid ayat 20) Kalau di Al Quran.
Gairah untuk menunjukkan ke orang-orang tentang hal bergengsi yang kalian punya. Saya akan mengurutkan dari bawah lagi. Yang pertama apa? Bagus. “Kebahagiaan”.
Yang kedua? Ikhwan!
“Gaul”. Ketiga?
“Populer”. Keempat?
“Gengsi”.
Uang
Di atasnya ada usaha “mengejar uang”. Ada orang yang mengabaikan kebahagiaan. Mereka abai soal gaul. Mereka abai soal populer. Mereka abai soal gengsi. Peduli mereka hanya apa? Uang.
Mereka tahu caranya dapat banyak uang. Mereka adalah yang bajunya kotor, jins-nya tua dan sobek-sobek dan menyetir mobil Mazda Miata 1988. Mereka tidak peduli karena mereka bisa menghasilkan $1 juta sebulan, $10 juta sebulan. Saya tahu orang-orang ini. Saya tahu orang yang digaji $100 juta setahun.
Kalian tidak akan tahu, anak rumahan itu gajinya sebegitu. Karena rambutnya ke mana-mana karena sibuk mengurusi yang lain. Dia kesusahan mengatur penampilan. Atau bahkan dibiarkan, dia tidak peduli itu, cuma peduli bisnis. Dia luar biasa kalau bisnis. Itu saja yang dipikirkannya, yaitu bagaimana caranya menaikkan penjualan, mengatur pengeluaran, rencana pengembangan, ini dan itu. Subhanallah.
Mereka itu manusia-manusia ajaib. Semakin ke sini, bukankah lebih berat usahanya? Iya. Tidak terlalu butuh usaha untuk bahagia. Butuh sedikit usaha untuk gaul. Butuh banyak usaha untuk populer. Butuh lebih banyak usaha untuk gengsi atau dianggap penting. Dan “sangat” butuh usaha untuk? Untuk dapat uang.
Untuk dapat uang perlu sejumlah etos kerja. Mereka tidak ambil cuti. Lalu, ada yang di atasnya. Ada yang lebih tinggi. Setiap saya bilang butuh lebih banyak usaha, kalian harus paham. Setiap saya jelaskan yang lebih tinggi, harus sengsara untuk naik ke sana. Kalian harus kebal rasa sakit, goncangan, agar bisa naik tingkat.
Menjadi Yang Terbaik
Jadi, kita naik ke atasnya “mencari uang”. Di atas uang, ada orang yang hanya berusaha “jadi nomor 1”. Mereka berusaha “jadi yang terbaik”.
Mereka mau yang terbaik. “Aku tidak mau sekedar programmer di kantor. Aku mau jadi programmer terbaik.”
“Aku tidak mau jadi sekedar siswa di kelas. Aku mau jadi siswa terbaik.”
“Aku tidak mau hanya dapat nilai bagus SBMPTN. Aku mau dapat nilai sempurna.”
“Aku tidak mau sekedar pemain basket. Aku ingin masuk NBA, bahkan NBA MVP (pemain terbaik).”
Mereka tidak pernah puas dengan dirinya, sampai mereka terus memaksa, lagi, lagi, dan lagi. Mereka tidak puas! Mereka itu berusaha mencari yang terbaik di bidang yang mereka jalani, entah sekolah, olah raga, atletik atau di lapangan pekerjaannya, atau di penelitiannya. Mereka butuh berada di puncak. Mereka butuh jadi nomor 1.
Tahukah kalian siapa yang ingin mereka kejar, mereka saingi? Ini yang penting. Siapa saingan mereka? Mereka sendiri hari kemarin. Mereka tidak peduli siapapun. Mereka tidak iri siapapun. Mereka yakin bisa buat lebih baik.
Jadi mereka tidak pernah, tidak pernah puas. Mereka tidak pernah bermalas-malas. Motivasi mereka, “Aku harus buat lagi. Aku bisa buat lebih baik.”
Orang yang lain bilang, “Kau itu luar biasa. Yang kaulakukan itu luar biasa.”
Jawaban mereka, “Terserah! Aku bisa lebih baik lagi.”
Mereka sama sekali tidak peduli pujian dan penghargaan dari orang-orang… yang menganggap yang dia lakukan itu ajaib. Mereka hanya terus memaksa diri, lagi dan lagi. Contoh mudah yang kalian semua tahu, Michael Phelps. Ya? Berapa banyak yang memujinya bisa memecahkan semua rekor yang ada.
Tapi, apakah dia pikir, “Aku sudah dapat rekor. Aku dapat nama baik, aku bisa istirahat?”
Dia bukan mencari nama baik. Jelaslah apa yang dia kejar? “Kesempurnaan”. Dia tidak akan puas. Dia akan terus menempa dirinya seolah mesin yang terus melaju dan melaju, semakin berakselerasi.
Mereka ini, ngomong-ngomong, sangat sedikit orang di dunia. Sangat sedikit. Kebanyakan kalian ikhwan yang hadir di sini, sekali merasa sudah lulus… Sekarang, ini waktunya “mencari kebahagiaan”. Nyalakan PlayStation-nya!
Sementara ada satu ikhwan yang dapat 99, dia menghajar dirinya sendiri. “Kok bisa satu soal itu aku salah.”
Biasanya bukan yang ikhwan, tetapi yang akhwat. Saya ceritakan berhubungan dengan poin “yang terbaik” ini, unek-unekku tentang pekerjaan saya. Salah satu bagian dari perjalanan karir saya, saya tidak punya pekerjaan tetap, satu tahap dari karir saya, saya mengajar bahasa Arab untuk muda-mudi pada satu program intensif 9-bulan pengajaran materi bahasa Arab.
Ini ada kelas siswa, ini ada kelas siswi. 30 ikhwan, 30 akhwat. Kelas akhwat terus-menerus lima tahun terakhir telah mengalahkan yang ikhwan di nilai ujiannya. Benar-benar mengalahkannya. Namun yang ikhwan… terus-menerus merasa lebih bahagia. Saya kasih tahu, yang akhwat itu selalu merasa kecewa.
“Ustadz, meskipun aku dapat 100, tapi aku ragu apakah sudah paham.”
Tetapi, satu ikhwan ini, dia dapat 25, dia bilang, “Aku paham, ustadz. Aku paham. Aku paham.”
Saya menghadapi dua spesies yang berbeda dalam satu kelas. Cara berpikir mereka benar-benar berbeda. Hingga saya harus bilang ke para ikhwan, “Seriuslah! B*d*h! Kamu belum paham. Berusahalah!”
Dan saya harus bilang ke para akhwat, “Tenanglah! Kalian sudah paham, santai saja!”
Saya tidak bisa bilang ke yang ikhwan untuk santai karena mereka tidak mungkin bisa lebih santai dari itu. Tidak mungkinlah.
Sampai dimana kita sekarang? Baik. Bantu saya! Kita mulai dari bawah lagi.
Kebahagiaan.
Keren.
Popularitas.
Gengsi, oke.
Uang.
Yang terbaik.
Memberi Dampak/Membuat Perubahan
Apa, ya, di atas “yang terbaik”? Ada lagi di atas “yang terbaik”, yaitu “Memberi dampak”. (Usaha membuat) perubahan. Aku tidak peduli… apa yang aku dapat. Aku tidak peduli dapat banyak uang, ataupun jadi nomor satu. Bukan itu.
Aku ingin berbuat untuk orang lain. Aku ingin mewariskan sesuatu. Aku hanya punya waktu sebentar di planet ini. Apabila aku pergi… aku ingin meninggalkan jejak di Bumi. Aku ingin bisa mengenang, bahwa aku telah mengubahnya jadi lebih baik untuk ditempati orang lain. Aku ingin membawa dampak baik untuk yang lain, untuk suatu masalah atau untuk lingkungan sekitarku.
Kita bicara mengenai non-muslim sekarang, belum mengenai muslim. Ada orang masuk S-2 administrasi bisnis, sekolah top, bisa dapat gaji ratusan juta begitu keluar sekolah lalu ditinggalkan gaji itu, masuk ke perusahaan yang melakukan pekerjaan sosial.
Gajinya turun drastis karena, bukan yakin pada uang, tetapi yakin pada… perubahan. Mereka lebih memilih kerja di organisasi yang membantu reformasi sistem pendidikan. Atau orang lain, dokter yang bisa punya gaji besar, baru selesai koas, semua sudah beres… siap untuk buka praktek, justru memutuskan untuk jadi Dokter Lintas Batas. Pernah dengar?
Kalian tidak dapat uang sewaktu jadi dokter lintas batas. Kalian mempertaruhkan hidupmu jadi dokter lintas batas. Tapi kenapa ada yang mau? Itu karena daripada sekedar pusing tentang nanti punya mobil apa setelah dapat gaji, mereka lebih ingin buat perubahan untuk dunia. Mereka ingin bantu. Mereka ingin melakukan kebaikan.
Ketahuilah, orang yang tidak punya egoisme ini sangat-sangat sedikit. Semakin tinggi tingkatan ini, semakin sedikit orang kalian dapati. Mereka itu orang-orang luar biasa. Merekalah orang-orang yang telah membawa pengaruh di muka bumi.
Bayangkan orang seperti Nelson Mandela, atau lainnya. Orang-orang yang masuk penjara karena meyakini sesuatu. Yakin untuk perubahan. Mereka tidak ingin bekerja sendiri. Mereka korbankan diri mereka untuk tujuan lebih besar. Mereka bahkan tidak memikirkan nasibnya. Mereka mengabdi kepada pergerakan. Orang macam ini…
Orang-orang ini adalah pemburu perubahan. Mereka jauh di atas pemburu kesempurnaan. Meskipun, “kesempurnaan” otomatis ada padanya. “Kesempurnaan” bukan tujuan, tetapi hasil sampingan.
Sebab, kalau kalian ingin membawa perubahan, kalian harus punya bekal apa? Kalian harus memaksa diri sekeras, sekeras mungkin. Kalian mungkin pikir ini hal tertinggi yang bisa seseorang usahakan: perubahan.
Kebenaran Hakiki
Tetapi, tidak. Ada yang lebih tinggi, yaitu “kebenaran hakiki”. Seorang kawan berusaha “menegakkan keadilan”. Seseorang berusaha “menegakkan kebenaran” berusaha “menegakkan idealisme”.
Mereka meyakini keadilan, padahal “keadilan” itu sulit diraih sepenuhnya di dunia, ya? Sulit untuk diwujudkan. Mereka, “Terserah! Akan tetap melakukannya.”
Ketika kamu mengerjakan sesuatu tanpa tahu akan hasilnya, menjadi sangat sulit. Kalau kalian ingin memburu perubahan, lihat hasilnya sedikit saja, kalian jadi termotivasi, kan? Kalian jadi termotivasi sehingga semangat. Namun, jika yang kalian buru adalah idealisme, keadilan… gerakan keadilan. Kalian mungkin tidak akan melihat hasilnya sampai kapanpun. Kapanpun.
Bagaimana mereka bisa mendorong semangatnya sewaktu mengerjakan hal yang tidak terlihat ujungnya? Mereka itu orang-orang yang luar biasa dan paling tabah. Sekali mereka yakini suatu ideologi, biarpun yang lain pikir gila, terserah, mereka tetap jalan.
Saya akan masuk bahasan mulai pada usaha “menegakkan kebenaran dan keadilan” dan membahas bahwa tradisi para nabi Islam ‘alaihimush sholatu wassalam sebetulnya adalah usaha menegakkan kebenaran. Mereka senang menyebarkan kebenaran.
Pada kebanyakan kasus, kita tahu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada orang yang akan berdiri di hadapan Allah di Hari Kiamat, Rasul menghadap Allah di Hari Kiamat tanpa seorang pengikut pun di belakangnya.
“Tanpa pengikut!”
Bukan satu, bukan dua. “Nol!”
Apa yang mereka usahakan?
“Kebenaran”.
Seberapa dampaknya? “Nol!”
Tetapi mereka, sudah pasti, tetap sukses di sisi Allah. Ya atau tidak? Ada yang harus kita pahami. Kita kembali lagi ke peringkat ini, tetapi yang di atas nomor 4. Di atas nomor 4, atau di atas nomor 5.
Mari kita bahas tentang “yang terbaik”. Apabila kalian berusaha “jadi yang terbaik”, siapa yang kalian saingi? Diri sendiri. Pertanyaannya, kenapa ingin menyaingi diri sendiri? Hanya karena ingin lebih baik? Bukan.
Kalau kalian tahu bagaimana menurut Islam, kalian tidak puas dengan yang ada itu karena kalian… diciptakan untuk membuat perubahan. Kalian diciptakan untuk memikirkan orang lain. Itulah kenapa kalian seharusnya tidak gampang puas. Allah telah membebanimu tanggung jawab di luar dugaan kalian.
Pikirkan juga itu, satu pernyataan kuat dalam Al Quran. Ketika terjemahannya tidak jelas, timbullah banyak masalah.
Allah berfirman, “Laa yukallifulloohu nafsan illaa wus’ahaa.” (QS Al-Baqarah ayat 286)
“Allah tidak membebani setiap individu melainkan…”
Sekarang begini terjemahan jeleknya, “Melainkan sesuai dengan kemampuannya.”
“Allah tidak akan membebanimu diluar kesanggupanmu.”
Pernah dengar semacamnya?
Teks Arabnya harusnya: ( لَا يُكَلِّفُ اللهَ نَفْسًا إِلَّا بِوُسْعِهَا )
Kalau terjemahannya, “Sesuai dengan kemampuannya.”
Harusnya ada huruf ba’. Namun justru ( إِلَّا وُسْعَهَا ) yakni ( كَلَّفَ اللهُ وُسْعَنَا ).
Makna ayatnya benar-benar berubah sekarang. Itu tadi makna kasarnya saja. Tapi tahukah kalian makna sebenarnya?
“Allah tidak membebanimu sesuatupun kecuali dengan kemampuanmu.”
Renungkan kata-kataku. “Allah tidak membebanimu sesuatupun, kecuali?”
(membebanimu) “dengan kemampuanmu”. Dengan kata lain, mampukah kamu jadi lebih baik? Ya!
Mampukah kamu lakukan lebih? Ya!
Allah akan menanyaimu tentang apa yang bisa kamu lakukan ini. Bukan batas minimalnya, tapi batas maksimalnya!
Allah ingin kamu berusaha lebih keras, lebih keras dan memperlihatkan-Nya bahwa kamu setangguh karang, sekeras baja. Itulah maksud… “usaha” yang kita bahas ini.
Kita tidak tertarik “mencari kebahagiaan”. Itu hal yang Allah berikan sebagai balasan tambahan. Kita tidak tertarik “menjadi keren” karena keren itu cupu. Teman-teman kalian payah, kalian ingin jadi payah seperti mereka.
Kita tidak tertarik “mencari popularitas”. Tahu kenapa? Karena kalau semua temanmu tidak punya tujuan hidup… dan kalian populer di mata mereka, justru kalian yang paling b*d*h. Kita tidak tertarik “mencari kehormatan” karena kita tahu kehormatan itu pemberian Allah.
Para nabi diusir dari rumahnya, mereka terhormat. Para rasul diludahi umatnya, mereka tetap terhormat. Kita membuat gambaran keliru tentang “kehormatan”. Kita salah menaruhnya.
– Kamu kasih aku air minum? Terima kasih. (ustad diberikan air minum oleh panitia)
Ketika kita tiba di tingkat “yang terbaik”… Kalian, para muslim, tidak boleh terima, tidak boleh menyerah… dengan merasa puas pada yang biasa-biasa saja. Kita tidak boleh menyerah. Tidak boleh.
Kalian, sebagai mukmin, sebagai muslim, harus mendorong diri ke arah perbaikan. Apapun aktivitas kalian. Kalau kalian sedang menghafal, kalian bisa menghafal lebih baik. Kalau sedang belajar, belajar yang lebih baik. Kalau kerja, kerja yang lebih baik. Kalau kerja sukarela, kerja yang lebih baik.
Dorong! Dirimu! Ke arah perbaikan! Paksa dirimu! Terutama saat masih muda. Kalian masih punya waktu, belum punya tanggung jawab.
“Tapi aku harus kerjakan PR?”
Ya, tanggung jawab yang tidak berat. Yang berat itu kalau sudah menikah, kalau punya anak. Saat ini kalian bebas. Saat ini kalian punya kebebasan yang tidak kalian dapat nanti. Ini saatnya kalian berusaha keras. Bukan bermalas-malas main video game. Ini bukan saatnya duduk untuk menonton film terus-menerus. Ini bukan saatnya girang dengan “The New Avengers” atau apalah. Bukan saatnya. Bukan untuk kalian.
Kalian punya kewajiban lebih besar. Dunia ini sedang menunggu perubahan yang kalian buat. Kalian tidak bisa duduk-duduk. Temanmu begitu? Biarkan saja. Keinginan mereka tidak lebih tinggi.
Kalian harus jadi pemburu kesempurnaan karena kalian, mulai sekarang, memikirkan perubahan. Setiap pemuda dan pemudi di ruang ini sudah harus memikirkan, “Apa yang Allah berikan padaku?”
“Bakat apa yang Allah berikan padaku? Dan perubahan apa yang aku buat dengannya?”
“Untuk apa aku gunakan?”
Dan begitu kalian memikirkan dampaknya… kalian akan menyadari ke mana tujuannya. Kalian menuju “ke-ridho-an” untuk bertemu Allah. Itulah kebenaran hakiki Islam: kalian ingin bisa menghadap Allah setelah mengerahkan semua kemampuan. Itulah impian kalian.
Pola tidur kalian harus yang terbaik. Pola makan kalian harus yang terbaik. Jadwal olah raga kalian harus terbaik. Salat kalian harus yang terbaik. Belajar kalian harus yang terbaik. Kalian harus mendorong diri menuju “kesempurnaan” semuanya. Semua yang kalian lakukan harus peringkat 1.
Kalian jangan makan junk food … Kalian jangan hanya nongkrong menghabiskan waktu. Ya, kalian harus punya waktu santai. Tapi waktu kalian main, main dengan keras! Main dengan serius!
Orang lihat kalian, anak lain, mahasiswa lain, bilang, “Aku ingin jadi mengagumkan sepertinya. semua yang dia lakukan. Terbaik.”
Kalian harus begitu. Umat ini butuh yang seperti itu Manusia-manusia terbaik. Mereka akan membawa perubahan. Dan tahukah Anda? Bapak-ibu kita, malangnya. Karena mereka belum pernah tahu hal ini, belum pernah diajari tiga hal terakhir. Jadi, tingkat tertinggi mereka adalah “gengsi”. Mungkin di atasnya, “uang”. Sampai di situ saja. Jadi harapan mereka padamu hanya “gengsi” dan “uang”.
“Kerja sana! Biar nanti dihormati, biar kami bisa pamer, ‘Anak kami sudah kerja. Dia dokter. Atau yang lain. Dan kalau sudah banyak uang, kita bisa pamerkan juga.”
Itu saja! Sampai di situ. Itu yang selalu mereka bicarakan.
“Kamu kerja di mana, gajinya bagaimana, beli rumah di mana.” Begitu, kan?
Semuanya hanya sampai gengsi dan uang. Tapi ada lebih dari itu. Apa yang di atasnya uang? Apa yang di atasnya “uang”? “Kesempurnaan”. Siapa yang mendorongmu jadi yang terbaik? Siapa yang akan peduli dengan perubahan, jika saya dan kalian hanya peduli dengan gengsi dan uang?
Berapa banyak muda-mudi bekerja jadi dokter di kalangan muslim, saya suka bicara soal dokter. Mereka yang paling depresi. Mereka jadi dokter karena bapak-ibu mereka menyuruh begitu. Saya tidak mau datang berobat ke tempatmu.
Beneran. Saya lebih mau berobat ke ahli fisika karena mereka suka membantu kemanusiaan. Mereka peduli. Mereka bukan menyukai gaji yang datang dari perusahaan asuransi korup. Merekalah yang peduli dengan kemanusiaan. Saya mau berteman atau mengobati anak saya ke mereka. Orang-orang yang membawa perubahan.
Sekarang yang terakhir dari saya, “Wa al laisa lil-insaani illaa maa sa’aa.” (QS An-Najm ayat 39)
“Setiap manusia tidak akan mendapat balasan apapun kecuali atas usaha mereka.”
Kita mulai lagi. Usaha “mencari kebahagiaan”. Usaha “menjadi keren”. Usaha “mencari popularitas”. Usaha “mencari gengsi”. Usaha “mencari uang”. Usaha “menjadi yang terbaik”. Usaha “membuat perubahan”. Lalu usaha “menegakkan kebenaran”.
Yang Ingin Allah Lihat Darimu Adalah USAHA-mu!
Tahukah apa yang paling penting bagi Allah? Yang paling penting bagi Allah, di antara itu semua… adalah “BERUSAHA”. Bukan uang, bukan dampak, bukan kesempurnaan. Semuanya akan menyusul. Yang ingin Allah lihat darimu adalah USAHA-mu!
Sudah saya ceritakan ada nabi yang menghadap Allah di Hari Kiamat, berapa pengikutnya? Nol. Dampaknya nol. Namun, Allah tetap beri tingkat tertinggi di surga. Kenapa? Karena Allah menghargai usaha mereka, kerja keras dan ketabahannya. Mereka tangguh, semua dilaluinya.
Kalau kalian buat sebuah laporan perkembangan untuk Nabi Nuh alaihissalam tahunannya, coba kita lihat diagram pertumbuhan jumlah orang masuk Islam.
“Tinjauan tahunan untuk Nabi Nuh alaihissalam.”
Berapa yang masuk Islam setahun? 950 tahun, hanya… Diagramnya tidak (naik) begini, tetapi (datar) begini, atau bahkan turun, ada yang… maju mundur. Hampir tidak ada hasil. Tidak ada namanya “kemajuan pesat”. Apa yang kita hargai dari Nabi Nuh alaihissalam adalah konsisten dan konsisten dalam berusaha.
Kita harus menjiwai ini. Kalian harus menjadi orang yang terus berusaha. Kita tidak akan dapat pahala selain usaha kita. Anak muda dengarkan kata-kata saya, tolong, dengan seksama. Pikirkanlah ini: apa arti hidupmu ini nantinya?
Jika hidupmu hanya video game terus, jika hidupmu hanya episode sinetron terus. Apa yang sedang kamu usahakan? Apa orang peduli jika kamu menang semua tropi atau berhasil 100% sinkronisasi Assassin’s Creed? Siapa peduli? Siapa yang peduli? Apa manfaatnya? Apakah bisa mengubah dunia? Siapa peduli berapa kali kamu bisa push up. Siapa peduli?
Kalian harus pikirkan lebih banyak dan lebih tinggi dari itu. Kalau kalian mau mulai… Saya beberkan apa yang Allah janjikan padamu. Allah akan berikan kebahagiaan. Kalau kamu telah melakukan usaha menjadi lebih baik, hidupmu ada artinya. Kalau hidupmu ada artinya, hidupmu bahagia.
Kalau kamu tidak ada usaha, maka hidupmu tidak ada artinya, itu sebabnya tidak bahagia. Entah sebanyak apa kalian dengar musik, seberapa sering jalan-jalan, seberapa sering pesta, tetap tidak bahagia. Kalian tidak pernah puas. Kalian selalu bosan, selalu… murung dengan dirimu sendiri. Kalian harus memiliki jiwa untuk selalu berusaha lebih. Generasi muda seperti kalian harus terus dan terus mengejar yang terbaik.
Allah berfirman, “Wa anna sa’yahuu saufa yuroo.” (QS An-Najm ayat 40)
Saya cinta ayat ini dan akan menutup ceramah saya dengan ayat ini.
“Dan bahwa kerja kerasnya, usahanya akan segera terlihat.”
Usahanya akan segera apa? Akan segera terlihat. Saya jelaskan ini.
Apabila kalian memperlihatkan riwayat hidup kalian:,”Aku lulus dari sekolah ini.”
“Aku kerja di sini, di sini. Aku ikut proyek ini, ini.” Apa yang kalian taruh di riwayat hidup? Hasilnya ataukah usahanya? Tentu bukan usahanya. Hasilnya. Hasilnya, “sudah lulus”. Kalian tidak taruh.
“Aku sangat kerja keras di semester akhir, sampai mati mengerjakan ujiannya.”
Kalian tidak taruh itu di sana. Kalian hanya taruh hasilnya. Ya atau tidak?
“Aku ikut proyek ini, ini, dan ini.”
Kalian tidak taruh seberapa keras kerja kalian menyelesaikan proyek, kan? Kadang-kadang, kalian sudah banyak berusaha, tapi tidak lulus. Ada yang begitu? Kalian taruh banyak usaha untuk sebuah proyek, akhirnya gagal atau tidak mendapat peringkat sesuai harapan, intinya kalian tidak lihat hasilnya. Setiap orang… Kita nilai orang berdasarkan apanya? Hasilnya.
“Terserah sebanyak apa usahamu, kamu tidak berhasil. Kamu dipecat.”
“Terserah sebanyak apa usahamu, kamu tidak lulus tes. Kamu belum bisa wisuda.”
Kalian mengerti? Sementara Allah di Hari Kiamat tidak melihat buku rapormu berdasarkan hasilnya. Allah lihat buku rapormu berdasarkan?
“Usaha!”
Allah berfirman, “Dan kerja kerasnya, usahanya… adalah yang akan diperlihatkan, dilihat.”
Hal yang luar biasa! Tidak ada seorang pun di muka bumi yang bisa melihat usahaku. Aku tidak bisa melihat usahamu dan kamu tidak bisa melihat usahaku. Hanya Allah yang melihat usahanya. Kita hanya melihat dampaknya. Kita hanya melihat hasilnya. Orientasi kita pada hasilnya. Allah-lah yang menilai kerja kerasnya. Subhanallah. Betapa Tuhan yang luar biasa. Tidak ada yang menghargai usahamu selain Allah.
Jadi, jangan remehkan usahamu gara-gara diremehkan orang lain. Orang-orang tidak menghargai kerjamu membuatmu merasa, “Mungkin itu hal sepele.”
Justru, sebaliknya. Justru, sebaliknya. Ia bernilai di sisi Allah. Bagian ceramahku yang itu khusus untuk akhwat. Mereka banyak berusaha, tapi minder akan hasilnya. Bukan ikhwan. Ikhwan itu tidak buat usaha.
Mereka pikir, “Aku sudah berbuat banyak. Aku sudah coba.”
Kalian ikhwan, berhentilah menipu diri sendiri! Berhentilah berbisik sendiri, “Usahamu sudah cukup!”
Berhentilah jadi orang malas! Syaithan sedang menghancurkan kalian, beneran. Kalian benar-benar malas. Jangan malas lagi! Berhentilah merasa semua baik-baik saja. Bangun dan kerjalah, lebih banyak! Jika belum dapat kerja, terus coba, terus melamar, terus melamar, cari informasi, relasi! Jangan berhenti dan berkata, “Aku sudah coba segalanya!”
Tidaklah, kalian belum coba segalanya. Terus paksa dirimu! Belajarlah untuk melakukannya! Belajarlah dari para akhwat! Tenang, akan ada gilirannya untuk kalian, tenang… Kalian tidak akan bertepuk tangan lagi setelah ini. Tahu tidak, masalah kalian?
Bukanlah masalah “mencari kebahagiaan”. Masalah kalian adalah kalian selalu meragukan diri kalian. Kalian selalu berpikir, “Aku kurang bagus, tidak bisa diandalkan.”
Cukup! Kalian harus lebih santai terhadap diri sendiri. Bukan kalian! Kalian tidak boleh santai. Kalian selama ini sudah cukup santai. MasyaAllah Kalian, sebaliknya, butuh tenang! Kalian harus tenang. Aku tahu akhwat yang belajar Islam, belajar Quran, “Tapi, kosa kataku masih kurang!”
“Ya Mba, tenang. Kamu tidak memerlukannya. Itu bukan kiamat dunia.”
Allah tidak melihat hasilnya. Apa yang Allah nilai? Usahamu! Usahamu! Usahamu! Berhentilah khawatir tentang hasilnya. Khawatirmu berlebihan. Khawatirmu berlebihan pada apa yang belum kalian tahu dan belum kalian capai. Jangan memikirkan yang dicapai, pikirkan tentang tulusnya, murninya, dan kemampuan terbaiknya usahamu. Lalu, saya kasih tahu, hasilnya akan Allah datangkan dan datangnya bertubi-tubi. Dan datangnya di waktu terbaik menurut Allah, bukan menurut kalian.
Dua orang akan sama-sama melakukan usaha. Yang satu hasilnya akan langsung tampak. Yang lain butuh menunggu bertahun-tahun. Dan urusan itu ada di tangan Allah.
Jangan mengeluh, “Hasil dia banyak, sedangkan aku tidak sama sekali. Padahal usaha kami sama banyaknya. Ini tidak adil.”
Tidak, ini justru adil. Karena kalendernya itu punya Allah. Yang Allah ingin lihat darimu… adalah usahamu. Akan ada orang-orang yang sama-sama ujian ada di kelasku, mereka sama-sama ujian. Yang satu… berusaha sangat giat. Dia belajar siang dan malam.
Dia tadinya temanku sebelum daftar program. Kami teman sebaya, sekarang aku gurunya. Aku ajak dia, “Mau jalan-jalan?”
“Tidak, aku harus belajar.”
“Aku gurumu!”
“Tidak, aku harus belajar. Ada ujian.”
“Aku mudahkan nanti. Aku kasih nilai tambah. Ayo main saja!”
“Tidak, aku harus belajar.”
Dia belajar siang-malam, siang-malam, siang-malam.
“Aku tahu usahanya. Orang tidak tahu. Aku tahu usaha yang dilakukannya.”
Tapi, ada satu hal. Dia cerdas dalam karirnya. Dia cerdas dalam bisnis. Dia cerdas dalam profesi. Namun, Allah tidak menakdirkannya belajar bahasa Arab. Seberapa banyak dia belajar… dia tidak dapat nilai tinggi. Hampir selalu tidak lulus.
Anak di sebelahnya, super jenius, termalas yang pernah saya temui. Anak yang tidur di kelas seharian, dapat 99 atau 100. Saya jadi marah dibuatnya. Saya mau lihat dia dapat nol. Beneran. Biar ketika dapat nol, saya bisa menamparnya keras-keras dengan kertas ujian.
Sementara anak yang belajar mati-matian, gagal ujiannya. Saya gurunya jadi frustasi. Bayangkan muridnya, saya gurunya saja pusing. Bagaimana bisa, yang ini tidak berusaha tetapi dapat hasilnya, yang ini mengusahakan segalanya, dapat hasil nol.
Itu tampak tidak adil. Tapi tahu tidak? Kalau dua jenis orang ini menghadap Allah dan keduanya bilang, “Aku belajar bahasa Arab lillaah. Aku belajar untuk mencari ridhomu, wahai Tuhan!”
Lalu Allah jawab, “Baik, kita lihat yang kamu buat.”
Yang satu menunjukkan nilai 99, yang satu 20. Apa yang lebih bernilai untuk Allah hari itu? Oh, yang 20 itu sangat mahal. Tak ternilai. Allah tidak hitung skor di kertasnya. Allah hitung apanya? Usahanya.
Yang 99 itu mungkin bernilai sangat-sangat murah. Usahanya tidak maksimal untuk hasil itu. Usahanya tidak maksimal. Beginilah Allah akan mengadili. Semua tentang kualitas, bukan kuantitas. Orang hanya bisa menilai kuantitas. Allah akan menilai kualitas.
Pikirkan kualitas bekerjamu, kualitas aktivitasmu, kualitas keseharianmu, jam berapa kamu bangun salat fajr, apa makan sarapanmu, siapa teman mengobrolmu, waktumu untuk apa, apa yang kamu lakukan, dan kualitasnya. Perbaiki itu, maka insya allah umat ini punya masa depan cemerlang.
Sekalinya kalian memikirkan kebenaran hakiki dan memikirkan perubahan akan ada ide-ide yang keluar dari ruangan ini akan ada kreatifitas yang keluar dari ruangan ini akan ada proyek yang keluar dari ruangan ini untuk mengubah dunia. Yang akan memengaruhi dunia dengan yang belum pernah ada. Itulah yang pemuda muslim bisa lakukan, itulah yang mukmin muda bisa lakukan, apabila mereka benar jalan usahanya.
Semoga Allah azza wa jalla menjadikan pemuda yang di sini pahlawan umat ini, manusia-manusia terbaik dalam melakukan perbaikan, sebagai penyemangat generasi berikutnya, “Kami mau mengalahkannya. Mereka adalah generasi emas.”
Barokalloohu lii wa lakum. Wassalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Silahkan share kepada teman kamu