Seringkali kita lupa akan esensi bekerja, bekerja masih kita kaitkan erat dengan uang yang tidak lain merupakan efek moral dari bekerja, sehingga yang menjadi orientasi kerja kita adalah uang.
Ketika kita benar-benar pada kondisi seperti itu, maka sama halnya kita sibuk mengejar-ngejar uang, lalu dimana derajat kita jika diposisikan berdampingan dengan uang ?. Titik kulminasi dari kondisi seperti ini adalah kita tidak akan pernah bertemu dengan kebahagiaan, rasa lelah dengan kesempitan waktu akan terus melekat pada diri kita.
Lalu apa yang harus dilakukan ?
Derajatnya manusia jauh lebih tinggi dari makhluk lain yang namanya uang, yang kita perlukan adalah bagaimana caranya supaya kita menjadi kepribadian yang sifat, sikap dan perilakunya membuat uang mengejar kita. Lalu bagaimana caranya ?, ketika kita sholat, sering kita melafalkan “Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillaahi rabbil ‘aalamiin” (Sesungguhnya Sahalatku, Ibadahku, Hidupku Dan Matiku Semuanya Untuk Allah, Penguasa Alam Semesta).
Coba kita garis bawahi bagian dari sumpah kita kepada Allah tersebut, yaitu Hidupku dan Matiku Semuanya untuk Allah. Kita tahu pekerjaan adalah bagian dari hidup, karena pekerjaan tersebut bagian dari hidup maka pekerjaan tersebut adalah bagian dari sumpah kita kepada Allah yang kita lapalkan lima kali sehari. Sampai disini sudah tergambar, bahwa sepatutnya pekerjaan itu kita jadikan ibadah dengan meniatkannya Lillahita’ala, kita bekerja untuk Allah, untuk yang Maha Pemberi Rizki, untuk yang Maha Kaya.
Dengan segala sesuatunya kita niatkan karena Allah ta’ala, maka kita tidak perlu khawatir uang dan karir tidak akan menghampiri kita, dengan demikian justru peluang uang dan kualitas karir mendekati kita jauh lebih besar ditambah lagi dengan pahala yang didapat, satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Polanya sederhana saja, dengan kita bekerja berorientasi ibadah, maka kita akan menjaga betul setiap pekerjaan kita sebaik mungkin, sesempurna mungkin, seamanah mungkin, setertib mungkin layaknya kita sholat, karena kita khawatir akan mengurangi nilai ibadah kita. Dengan upaya untuk bekerja baik, bekerja sempurna, bekerja amanah, bekerja tertib, maka dengan sendirinya tanpa kita sadari bahwa kita telah memberi peluang rizki untuk datang lebih banyak. Subhanallah…
Ketika kita memahami bekerja itu adalah ibadah, maka tidak ada lagi istilah menganggur pada diri kita, dan kita bisa yakin betul bahwa uang (rizki) hanyalah efek moral dari sebuah pekerjaan, maka itu berarti kita harus bekerja untuk yang Maha Pemberi Rizki. Kalau sudah demikian maka tidak ada lagi istilah menganggur bagi diri kita. Kita akan dibawa pada hal-hal sebagai berikut :
- Pikiran kita tidak perlu lagi terjebak pada opini bahwa dengan bekerja pada perusahaan besar maka peluang untuk bahagiapun semakin besar, kita kembali lagi bahwa kita bekerja untuk Allah SWT, maka pekerjaan apapun kita lakukan asalkan tidak melanggar aturan-Nya, karena konteks bekerja kita adalah ibadah, tidak mungkin pekerjaan yang haram memiliki nilai ibadah.
- Kita jangan terperangkap pada asumsi bahwa tidak menganggur itu berarti karyawan, banyak hal yang bisa kita kerjakan yang tidak mesti menjadi karyawan, buang semua kata gengsi yang akan menghambat produktivitas diri kita, dan yakinlah, bahwa Allah tidak akan pernah tutup mata kepada hamba-Nya yang berjuang keras, apalagi mengandung nilai ibadah. Memang itu belum menjamin kesejahteraan, tetapi apakah kalau sudah berbicara pada kebutuhan kita akan menunggu sejahtera ?, tidak bukan.
- Buka semua pandangan dan penilaian kita terhadap semua peluang. Hentikan jiwa pragmatis dan instan yang melekat pada diri kita, karena itu hanya akan membutakan diri kita dari peluang, yang pada akhirnya untung tak’ dapat diraih malang tak dapat ditolak.
Pesan terakhir saya dari tulisan ini sobat, “untuk keluar dari hutan rimba, kadang kita harus membuka jalan dengan melalui semak belukar, kecuali kalau kita ingin terkungkung didalamnya”.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangannya.
Silahkan share kepada teman kamu